Translate

Cara Pasang dan Kumpulan situs Animasi untuk di pojok blog

Senin, 03 Desember 2012


Metodologi Study Islam
(metode & sumber mempelajari ajaran islam)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang

            Di kalangan para ahli, masih terdapat perdebatan sekitar permasalahan apakah studi Islam dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan apa tidak. mengingat sifat-sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang berbeda.
            Ketika Islam dilihat dari sudut pandang normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan, yang berkaitan dengan urusan aqidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut pandang histori, atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
            Pada dasarnya, ketika kita berbicara masalah agama. pastilah setiap agama mengajarkan kebenaran, dan mengaku yang paling benar diantara agama yang lain. Kebenaran yang diyakini oleh setiap agama tersebut, dapat disebut juga dengan istilah Realitas tertinggi. Islam mengenal dan menyebut ALLAH sebagai Realitas tertingginya, dan meyakini semua kebenaran tentang-NYA. Kristen juga menyebut Allah (dengan pelafalan dan pengucapan yang berbeda) sebagai Realitas tertingginya. Begitu juga dengan Yahudi, Hindu, Budha dan agama yang lain, mereka mempunyai sebutan sendiri untuk memaknai Realitas tertinggi yang mereka yakini kebenarannya. Akan tetapi sebenarnya, kebenaran atau Realitas tertinggi yang diyakini oleh setiap agama tersebut dapat diperoleh dengan 2 cara, filosofis dan sosiologis (Husein Shahab dalam Andito).
Dan di dalam Al-Qur’an, terdapat banyak tuntunan yang membicarakan tentang Realita tertinggi. yang menunjukkan bahwa secara filosofis, ia tidak menerima kebenaran atau keyakinan selain-NYA. namun secara sosiologis, ia juga dengan sangat terbuka dan toleran menerima kehadiran keyakinan lain (Lakum Dinukum Waliyadin).
Tidak jarang terjadi kesalahan dalam upaya memahami Islam, sehingga berdampak pada kesalahan sikap dalam ber-Islam ataupun dalam menyikapi Islam. Kesalahan dalam upaya memahami Islam ini bersumber pada beberapa hal, diantaranya: Pengambilan sumber yang salah, cara memahami yang salah, pemahaman yang parsial, atau memahami Islam dari prilaku orang-orangnya, bukan dari sumbernya, dll
Maka dari itu, kami Mahasiswa Fakultas Tarbiyah semester 1 STAI Syamsul-Ulum Gunungpuyuh Sukabumi menyusun makalah ini dengan tema “Metode dan Sumber yang Mempelajari Ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits” sebagai tugas dari mata kuliah Metodologi Studi Islam.
1.2    Perumusan Masalah
       Untuk memudahkan pembahasan masalah tentang kewarganegaraan, maka perlu adanya perumusan masalah diantaranya:
1.2.1      Sebutkan sumber ajaran islam yang mempelajari ajaran islam !
1.2.2      Jelaskan pengertian Al-Qur’an dan hadis?
1.2.3      Bagaimana fungsi dan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran islam menurut kategorisasi ulama Salaf ?
1.2.4      bagaimana cara-cara memahami sumber ajaran islam? Sebutkan alasan adanya kesalahan dalam memahami islam !
1.2.5      Jelaskan metode ajaran islam !

1.3      Pembatasan Masalah

           Karena keterbatasan pengetahuan, waktu, biaya, dan lain-lain, maka kami tidak bias membahas semua masalah. Dari itu kelompok kami hanya dapat membahas sampai “Jelaskan Metode Ajaran Islam !”



1.3      Manfaat/ Tujuan

·    Agar memiliki kemampuan untuk berkembang secara positif untuk membentuk diri berdasarkan syari’at islam
·    Kesanggupan menerapkan ajaran islam dalam menyelesaikan problema hidup sehari-hari.
·    Memiliki pengetahuan, pemahaman, daya analisis, dan sikap sebagai seorang muslim yang baik
·    Kemampuan memhami Kitab Allah secara sempurna, memuaskan akal, dan mampu menenangkan jiwanya.
·    Menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam study islam





BAB II
METODE DAN SUMBER YANG MEMPELAJARI AJARAN ISLAM
YAITU AL-QUR’AN DAN AL- HADITS

2.1   Sumber Ajaran Islam
     Islam dari Allah. Sumber ajarannya juga dari Allah. Maka sumber ajaran Islam adalah wahyu dari Allah, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.

2.1.1          Al-Qur’an sebagai Sumber Agama

2.1.1.1  Pengertian Al-Qur’an
Para ahli Ushul, Fuqaha dan ahli bahasa memberikan pengertian Al-Quranul Karim dengan “Kalam Mukjzat” yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf, dinukilkan dari nabi Muhammad secara mutawatir dan membacanya beribadah.
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subhi Saleh, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’I madli) dengan arti ism al-maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya dibaca.
Al-Qur’an bukan merupakan kitab agama saja, tetapi ia juga kitab sastra yang luar biasa, juga sebagai kitab undang-undang yang mengatur hidup, baik di bidang politik, kemasyarakatan, maupun ekonomi.Ia bertujuan menata pemerintahan yang berlandaskan musyawarah, persamaan dan berketuhanan kepada Tuhan yang maha esa.yang tidak ada serikat bagi-Nya. Inilah tauhid yang dianjurkan Al-Qur’an, bukan tauhid mengesakan Tuhan saja, tetapi termasuk juga tauhid mempersatukan umat islam.
Demikian fungsi Al-Qur’an yang diambil dari nama-namanya yang difirmanan Allah dalam Al-Qur’an. Sedangkan fungsi Al-Qur’an dari pengalaman dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas ketakwaan individu yang bersangkutan. Karena bersifat personal, maka pengalaman tersebut hamper dipastikan berbeda-beda, meskipun persamaan-persamaan pengalaman itu pun sebagai media untuk menjaga diri. Dan karena itulah kita sering melihat “isim” atau jimat yang diambil diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an.

2.1.1.2   Al-Qur’an Sebagai Firman Allah SWT

sebagai wahyu, Al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad Saw. Perdebatan sekitar otentisitas Al-Qur’an sebagai firman Alah telah terjadi ketika Al-Qur’an dturunkan. Oleh karena itu, Allah menantang kepada para para penantang Al-Qulr’an untuk membuat satu surat yang semisal dengan Al-Qur’an.
Tampaknya mereka tidak mampu membuat Al-Qur’an tandingan walaupun satu surah terpendek, yang terdiri dari tiga ayat. Andaikata mereka dapat membuat barang tiga ayat, sungguh selesailah tantangan itu dan sirnalah kemukjizatan Al-Qur’an. Namun lantaran mereka tidak sangup mendatangkan tandingannya, maka dengan tegas dan meyakinkan Al-Qur’an menantang seluruh umat manusia sampai hari kiamat.
Setelah perdebatan itu terjadi, terdapat pula orang yang meragukan otentisitas Al-Qur’an karena dianggap telah diintervensi oleh manusia, terutama umat islam generasi pertama yang kita kenal sebagai Sahabat Nabi Muhammad Saw. Allah menjamin bahwa Al-Qur’an terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Al-Qur’anu Karim dipandang sebagai Kalam Illai yang utama dan tertulis. Membacanya merupakan ibadah mendkatkan diri kepada Allah Swt. Ia merupakan sumber segala kebijaksanaan, dan tonggak agama, serta ketentuan umum syari’at.

2.1.1.2  ‘Ulumul Qur’an dan Tafsir

Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu secara periodic, sedikit demi sdikit dan ayat demi ayat. Hikmah pewahyuan secara ini adalah utuk memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Qur’an tidak hampa social. Pewahyuannya sangat tergantung pada lingkup dan prsoalan-persoalan kemasyarakatan. Dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur’an merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan social yang melanda kehidupan manusia.
M.Quraish Shihab membagi proses pewahyuan melalui pendekatan isi atau kandungan ayat. Ia selanjutnya membagi proses pewahyuan itu kepada tiga periode. Pertama, periode ketika Nabi Muhammad Saw masih berstatus nabi, yaitu dengan diterimya wahyu pertama, surah al-‘alaq 1-5. Status beliau lalu berubah menjadi Rasul dengan tugas menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu setelah beliau mendapat wahyu kedua. Ayat-ayat yang diturunkan pada fase ini tergolong ayat-ayat makiyah yang mengandung tiga hal : pertama, masalah pendidikan bagi Rasul dalam membentuk kepribasiannya; kedua, ajaran mengenai pengetahuan-pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan Allah seperti yang terlukis dalam surah al-‘ala dan surah al-ikhlas yang intinya memuat ajaran tauhid dan penyucian diri; ketiga, ajaran tentang dasar-dasar akhlak islamiah serta bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah. Periode ini berlangsung antara empat sampai lima tahun.
Kedua, periode terjadinya pertarungan antara gerakan gerakan islam dan kaum jahiliyah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun.
Ketiga, periode ketika umat islam dapat hidup bebas dalam menjalankan ajaran-ajaran agama, yaitu saat Nabi Muhammad Saw berada di Madinah yang berlangsung sekitar 10 tahun. Ayat-ayat periode ini disebut ayat madaniyah yang umumnya menerangkan masalah kemasyarakatan.
Secara bahasa, tafsir berarti penjelasan dan keterangan. Secara istilah,ilmu tafsir menurut Ibnu Hayan ialah ilmu yang membahas cara melafalkan lafad-lafad Al-Qur’an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang zhahir sebatas kemampuan para mufasir.
Quraish Shihab membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama, periode nabi, sahabat dan tabi’in sampai kira-kira tahun 150 H. kelompok tafsir periode ini disebut tafsir bi al-ma’tsur. Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in.Dari masa tabi’in beralih ke masa tabi’ tabi’in.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah beredar luas dan berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, para mufasir mulai berijtihad. Periode kedua disebut oleh Departemen Agama RI sebagai periode Muta’akhirin yang berlangsung antara abad ke-4 sampai abad ke-12 Hijriyah.
Masih dalam periode kedua atau periode Mutaakhirin, lahir pula tafsir dari kalangan Mu’tazilah dan syiah.
dilihat dari keterlibatan akal (ra’yu) dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tafsir terbagi dua kelompok yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yu.

2.1.2          Hadis sebagai Sumber Agama Islam

2.1.2.1    Pengertian Hadits
Yang dimaksud dengan hadis ialah ;
a.    Semua yang bersumber dari Rasulullah saw, baik berupa perkataan, pebuatan, atau pengakuan beliau terhadap pekerjaan atau perkataan orang lain.
b.    Semua yang bersumber dari sahabat yang langsung menemani Rasul, melihat pekerjaan-pekerjaannya.
c.    Semua yang bersumber dari tabi’in yang bergaul langsungdengan para sahabat dan mendengar sesuatu dari mereka.

Kata-kata sunnah, khabar, dan atsar sama dengan hadits. Al-khabar secara bahasa berarti an-naba (berita); sedangkan al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-sya’i). ari terminology al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama memiliki arti yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw Sahabat dan tabi’in. sedangkan menurut ulama Khurasan, al-atsar hanya untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan al-khabar untuk yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi).
Oleh karena itu, baik al-hadits, al-sunnah, al-khabar, maupun al-atsar dilihat dari aspek penyandarannya ada yang rtian istilah marfu’, mauquf, dan maqthu’ (disandarkan kepada tabi’in).
Terhadap keempat pengertian istilah diatas terutama aspek makna terminologynya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakan arti keempat istilah tersebut mengatakan bahwa al-hadits adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad saw; sedangkan al-sunnah dalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad saw, tetapi juga sahabat dan tabi’in.
Adanya perbedaan makna terminology keempat istilah diatas, menurut fathurrahman tidaklah prinsipil. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Utang Ranuwijaya dan Munzir Suparta yang mengatakan bahwa sebetulnya keempat istilah tersebut mengakucu pada pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupum taqrir.
Jadi, sunnah dan khabar menurut istilah ahli hadits merupakan sinonim dari hadits. Mereka tidak keberatan menamakan hadits dengan khabar, dan sebaliknya.

2.1.2.2    Posisi dan Fungsi Hadis

Hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada nash, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Menurut T.M. Hasybi Al-Sieddiqy, fungsi hadis terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (al-bayan). Kemudian membagi al-bayan kepada beberapa kategori sesuai kategorisasi yang diajukan oleh ulama Salaf.
Fathurrahman “tampaknya” menyimpulkan penjelasan serta kategori al-bayan ke dalam tga hal : pertama, hadis berfungsi menetapkan dan memperkuat hokum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-taqrir vers Imam Malik dan bayan al-ta’qid versi Ahmad bin Hanbal.


Kedua,, hadis berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia berfungsi mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (‘am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafhsil versi imam Syafi’I dan imam Malik, serta bayan al-takhsis versi imam Syafi’I dan imam Ahmad, juga bayan tafsir. Ketiga, hadis berfungsi menetapkan aturan atau hokum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi imam Malik, imam Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.

2.1.2.3    Sejarah dan Kodifikasi Hadis

Usaha-usaha mengumpulkan hadis sebenarnya sudah ada pada masa Sayidina Umar bin Khattab dan masa Umar Ibnu Abdul Aziz. Pada masa Al-Mansyur menjadi khalifah, Imam Malik ibn Amr (178 H) mengumpulkan sejumlah hadis dalam kitabnya yang diberi nama “Al-Muwatho”.
Pada abad ketiga hijriyah lahirlah sejumlah ahli hadis yang kritis, mereka membuat pedoman yang teliti untuk untuk membedakan antara hadis shahih dan hadis palsu. Kitab-kitab yang masyhur disusun pada masa ini ialah Sahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan An-Nasa’I, Jami’at Turmudzi, dan Sunan Ibnu Majah.
Hadis merupakan sumber kedua dalam syari’at islam sesudah Al-Qur’an. Hadits merupakan pedoman umat islam dalam banyak hal, baik urusan agama maupun urusan dunia.

2.2   Kesalahan Dalam Memahami Islam

Kesalahan utama dalam upaya memahami Islam kadang terletak pada pijakannya. Mengambil pijakan yang salah, maka hasilnya-pun bisa salah. Seandainya-pun betul, maka hanya merupakan suatu kebetulan.
Diantara kesalahan dalam mengambil sumber hujjah ini adalah:
2.2.1        Berhujjah dengan hadits lemah dan palsu
Kesalahan yang sering terjadi dalam hal ini adalah mengambil hujjah (dalil) dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Sebagian mungkin berpendapat bahwa berhujjah dengan hadits lemah dan palsu dalam fadha`il al-a’mal tidak mengapa selama tidak menyangkut masalah i’tikad, Namun masalah ini juga bisa melahirkan kesalahan dalam beragama. Siapa yang dapat memutuskan bahwa ini lebih afdhal dari yang lain?
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasululah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang sengaja berbohong mengatas namakan diriku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka"
Tentang faedah dan kaedah dari hadits ini, Imam An-Nawawi menulis diantaranya:"Tidak ada bedanya antara upaya berdusta dengan mengatas namakan Rasulullah dalam hal yang mengandung hukum atau dalam hal yang tidak mengandung hokum. Misalnya dalam masalah targhiib (anjuran untuk berbuat baik), tarhiib (ancaman dari berbuat kejelekan), mauizhah (nasehat) atau yang lainnya. Semuanya sama-sama haram hukumnya dan termasuk dalam katagori dosa besar"
2.2.2        Fanatisme, sehingga mengedepankan perkataan tokoh mazhabnya
Fanatisme pada mazhab atau pada orang tertentu juga berdampak dalam hal ini. Orang kadang lebih suka berhujjah dengan apa kata gurunya, kiyainya, bahkan apa kata orang-orang dulu (nenek moyang).
Ketika fanatisme telah merasuk, maka bagi mereka dalil bukan untuk menjadi sandaran kebenaran, namun jadi sandaran pembenaran terhadap apa yang telah kadung diyakini sebelumnya. Logika dibolak-balik agar apa yang telah kadung diyakini bisa menjadi benar.
2.3  Memahami Sumber Ajaran Islam
Sumber yang telah ada tidak bisa difahami semaunya. Kadang ada yang menganggap bisa memahami Al-Qur`an dan Sunnah semaunya. Dengan dalih “semua orang bisa memiliki pendapat yang berbeda”. Bagi mereka semua bebas berpendapat.
Ada yang memahami Islam dengan logika Kristen atau agama lain, sehingga lahir fiqh lintas agama. Inilah yang kadang merusak Islam. Ada orang hindu yang memahami Islam dengan pemahaman hindunya, Kristen dengan pemahaman Kristennya, dst…
Beragamnya cara memahami justru menjadikan Islam terpecah belah, padahal Allah justru menyeru untuk bersatu padu: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali  Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,…” (Q.S. Ali-Imran:103)
Lalu bagaimanakah semestinya?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah berpecah belah Yahudi menjadi 71 golongan, dan telah berpecah belah Nashrani menjasi 72 golongan, dan akan terpecah belah umatku menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk Neraka kecuali satu”. Sahabat bertanya:’Siapakah dia ya Rasulullah?’, sabdanya:”Barangsiapa yang menetapi apa yang  aku dan para sahabatku berada di atasnya” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibn Majah). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian (untuk menetapi) sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’u tabi’in). Kemudian akan tersebar kedustaan sehinga seseorang membuat persaksian sebelum dia diminta…” (H.R. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah)
Pemahaman terhadap sumber Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) adalah dengan mengikuti pemahaman salaf ash-shalih yang telah direkomendasikan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya.
2.3.1  Logika yang lurus
Para ulama telah menetapkan cara berfikir yang lurus dalam memahami sumber ajaran Islam. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh disaripatikan dari teks-teks Al-Qur`an dan hadits, diambil logika berfikirnya agar tidak terjadi penyimpangan dan kerancuan dalam berfikir, sehingga pemahaman juga bisa terpelihara tetap lurus.
Tidak jarang kekeliruan memahami Islam karena logika berfikir yang terbalik, umpamanya orang yang menetapkan wajibnya syahadat kembali bagi muslim keturunan, malah mereka yang menanyakan dalil yang menyatakan tidak perlu syahadat lagi, padahal mereka telah tahu hokum asalnya seorang anak yang baru lahir.
2.3.2   Pemahaman yang Integral
Islam harus dipelajari secara integral sebagai suatu kesatuan, bukan secara parsial. Umpamanya orang yang hanya melihat Islam dari sudut Bab Jihad, maka melihat seolah Islam itu keras dan penuh peperangan. Orang yang melihat Islam semata dari sudut Akhlak (Bab Adab), khususnya tentang zuhud semata dan mendalami itu saja akhirnya bisa menjadi orang yang hidup dalam kependetaan, atau berpendapat seolah jalan zuhud ala Sufi adalah jalan terbaik.
2.3.3   Menempatkan sesuatu pada tempatnya
Islam adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisah-pisahkan. Kesempurnaan Islam yang melingkupi berbagai aspek kehidupan (syamil) tidak justru mendatangkan kebingungan. Ke-syamil-an Islam justru agar kita bisa bersikap sesuai situasi dan kondisi yang melingkupi tanpa keluar dari bingkai syari’at.
Bukan ayatnya yang salah. Kadang juga bukan karena haditsnya yang lemah. Juga bukan pemahamannya yang keliru, namun karena kita salah menempatkannya sehingga terjadi kesalahan itu (Tentang ini, semoga suatu saat bisa saya tulis lebih detil dengan pembahasan “Fiqh Waqi’/ memahami realita”)
2.3.4   Tambahan
Beberapa kaidah lain dalam memehami Islam agar selamat dalam pemahaman kita tentang Islam ini adalah:
  1. kesalahan sebagian orang dalam memahami Islam kadang terjadi karena mempelajari Islam dari kenyataan umat Islam. Sikap yang salah dari sebagian umat Islam, keterbelakangan pendidikan, keawaman serta ketidak tahuan khususnya dalam iptek, kadang membuat orang mengambil kesimpulan bahwa Islam itu agama yang mengajarkan demikian. Ini terjadi karena upaya memahami Islam dari kenyataan umatnya, bukan dari sumbernya sebagaimana disebutkan di atas. Maka, hendaknya kita memahami Islam dari sumbernya. Kalaupun ingin melihat pada realita, maka lihatlah pada realita ummat yang telah diakui oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu generasi Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
  2. Mempelajari Islam hendaklah dari kepustakaan yang ditulis para ulama Islam yang mu’tabar, bukan malah melalui literature-literatur yang diterbitkan oleh orientalis atau kaki tangan orientalis. Sungguh realita yang aneh, tidak sedikit cendikiawan kita yang belajar Islam justru pada non-Islam, seperti Leiden University, Leipzig University German, Arizona State University, dan McGill University. 


2.4   Metode Ajaran Islam
Dirasah Islamiyah atau Studi Keislaman (Islamic Studies), secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubngan dengan agama Islam,baik ajaran-ajaran sejarahnya maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Usaha mempelajari agama Islam tersebut kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda dengan tujuan studi Keislaman yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan. Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Para ahli studi ke-Islaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal sebagai kaum orientalis, yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di dalamnya dunia Islam.
Dalam prakteknya studi ke-Islaman yang dilakukan oleh mereka, terutama masa awal-awal mereka mengadakan studi tentang Islam, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktek-praktek pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan-sehari-hari umat Islam.
Namun demikian, banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang obyektif dan bersifat ilmiah terhadap agama Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu akan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri. Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah “masa keemasan Islam” dan umat Islam sudah memasuki “masa kemunduruannya”) bahwa pendekatan studi ke-Islaman yang mendominasi kalangan ulama Islam lebih cenderung bersifat subyektif, apologis dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan oleh kalangan luar Islam yang bersifat obyektif dan rasional. Dengan pendekatan subyektif apologis dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang sumber dasarnya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perubahan dan perkembangan zaman – telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sentuhan akal/rasional dan tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan keagamaan serta sosial budaya umat Islam terkesan mandeg, membeku dan ketinggalan zaman. Dan celakanya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran atau obyek studi dari kaum orientalis dalam studi keIslamannya. Dengan pendekatan yang bersifat obyektif rasional atau pendekatan ilmiah, mereka mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ajaran agama Islam sebagaimana yang nampak dalam fenomena dan praktek umatnya ternyata tidak rasional dan tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Dengan adanya kontak budaya modern dengan budaya Islam, mendorong para ulama tersebut untuk bersikap obyektif dan terbuka terhadap pandangan dari luar, yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional dan obyektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi keIslaman di kalangan umat Islam sendiri. Dengan masuknya pendekatan tersebut, maka studi keIslaman semakin berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam, terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern yang semakin canggih dan era globalisasi saat ini. Berbagai pendekatan tentang studi Islam, akan dibahas dalam tulisan berikutnya.



BAB III
PENUTUP

1.1         Simpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik simpulan bahwa :
1.    sumber ajaran Islam adalah wahyu dari Allah, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.     Para ahli Ushul, Fuqaha dan ahli bahasa memberikan pengertian Al-Quranul Karim dengan “Kalam Mukjzat” yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf, dinukilkan dari nabi Muhammad secara mutawatir dan membacanya beribadah.
3.   fungsi Al-Qur’an dari pengalaman dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas ketakwaan individu yang bersangkutan. Karena bersifat personal, maka pengalaman tersebut hamper dipastikan berbeda-beda, meskipun persamaan-persamaan pengalaman itu pun sebagai media untuk menjaga diri.
4. hadis ialah ;Semua yang bersumber dari Rasulullah saw, baik berupa perkataan, pebuatan, atau pengakuan beliau terhadap pekerjaan atau perkataan orang lain.
5.   Kata-kata sunnah, khabar, dan atsar sama dengan hadits. Al-khabar secara bahasa berarti an-naba (berita); sedangkan al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-sya’i). ari terminology al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama memiliki arti yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw Sahabat dan tabi’in
6.  Kesalahan dalam memahami islam diantaranya : berhujjah dengan hadits lemah dan palsu dan Fanatisme, sehingga mengedepankan perkataan tokoh mazhabnya
7.  Memahami sumber ajaran islam diantaranya dengan Logika yang lurus, pemahaman yang integral, menempatkan sesuatu pada tempatnya, dll.

1.2              Saran

Setelah melakukan penyusunan makalah yang bertema “Kewarganegaraan”, maka kami mencoba mengemukakan beberapa saran, yaitu :
·     Semoga pembaca dapat mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat mengambil pelajaran
·         Mampu memahami Kitab Allah secara sempurna, memuaskan akal, dan mampu menenangkan jiwanya.
·           dapat menerapkan metode ini dalam kehidupan nyata
·           dapat mengkaji dengan baik dan dapat melengkapi kekurangan makalah yang kami susun



DAFTAR PUSTAKA

·     Ahmad, Muhammad Qadir, Dr.  “Metodologi Pengajaran Agama Islam”. 2008. Jakarta: PT Rineka Cipta
·   Abdul Hakim, Atang, Drs. Dan Mubarok, Jaih, Dr. “Metodologi Studi Islam”. 2000. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
· Jamil, Fathurrahman, Drs. “Tafsir-Ilmu Tafsir”. 1986. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
·      WWW.Wikipedia.co.id
·      WWW.GOOGLE.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar