Metodologi Study Islam
(metode & sumber mempelajari ajaran islam)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di kalangan para ahli, masih terdapat perdebatan sekitar
permasalahan
apakah studi Islam dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan
apa tidak. mengingat sifat-sifat karakteristik antara
ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang berbeda.
Ketika Islam dilihat dari sudut pandang
normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya
berisi ajaran Tuhan, yang berkaitan dengan urusan aqidah
dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut pandang histori,
atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil
sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Pada dasarnya, ketika kita berbicara
masalah agama. pastilah setiap agama mengajarkan
kebenaran, dan mengaku yang paling benar diantara agama yang lain. Kebenaran yang diyakini oleh setiap agama tersebut, dapat
disebut juga dengan istilah Realitas tertinggi. Islam
mengenal dan menyebut ALLAH sebagai Realitas
tertingginya, dan meyakini semua kebenaran tentang-NYA. Kristen juga menyebut Allah (dengan pelafalan dan pengucapan yang berbeda) sebagai
Realitas tertingginya. Begitu juga dengan Yahudi, Hindu, Budha
dan agama yang lain, mereka mempunyai sebutan sendiri
untuk memaknai Realitas tertinggi yang mereka yakini
kebenarannya. Akan tetapi sebenarnya, kebenaran atau Realitas tertinggi yang diyakini oleh setiap agama tersebut dapat diperoleh
dengan 2 cara, filosofis dan sosiologis (Husein Shahab dalam Andito).
Dan di dalam Al-Qur’an,
terdapat banyak tuntunan yang membicarakan tentang Realita tertinggi. yang menunjukkan
bahwa secara filosofis, ia tidak
menerima kebenaran atau keyakinan selain-NYA. namun secara sosiologis, ia juga
dengan sangat terbuka dan toleran menerima kehadiran keyakinan lain (Lakum Dinukum Waliyadin).
Tidak jarang terjadi kesalahan dalam
upaya memahami Islam, sehingga berdampak pada kesalahan sikap dalam ber-Islam
ataupun dalam menyikapi Islam. Kesalahan dalam upaya memahami Islam ini
bersumber pada beberapa hal, diantaranya: Pengambilan sumber yang salah, cara
memahami yang salah, pemahaman yang parsial, atau memahami Islam dari prilaku
orang-orangnya, bukan dari sumbernya, dll
Maka dari itu, kami
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah semester 1 STAI Syamsul-Ulum Gunungpuyuh Sukabumi
menyusun makalah ini dengan tema “Metode dan Sumber yang Mempelajari Ajaran
Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits” sebagai tugas dari mata kuliah Metodologi
Studi Islam.
1.2 Perumusan Masalah
Untuk memudahkan
pembahasan masalah tentang kewarganegaraan, maka perlu adanya perumusan masalah
diantaranya:
1.2.1
Sebutkan sumber ajaran islam yang
mempelajari ajaran islam !
1.2.2
Jelaskan pengertian Al-Qur’an dan hadis?
1.2.3
Bagaimana fungsi dan kedudukan hadis
sebagai sumber ajaran islam menurut kategorisasi ulama Salaf ?
1.2.4
bagaimana cara-cara memahami sumber
ajaran islam? Sebutkan alasan adanya kesalahan dalam memahami islam !
1.2.5
Jelaskan metode ajaran islam !
1.3 Pembatasan Masalah
Karena
keterbatasan pengetahuan, waktu, biaya, dan lain-lain, maka kami tidak bias
membahas semua masalah. Dari itu kelompok kami hanya dapat membahas sampai “Jelaskan
Metode Ajaran Islam !”
1.3
Manfaat/ Tujuan
·
Agar memiliki kemampuan untuk berkembang
secara positif untuk membentuk diri berdasarkan syari’at islam
·
Kesanggupan menerapkan ajaran islam
dalam menyelesaikan problema hidup sehari-hari.
·
Memiliki pengetahuan, pemahaman, daya
analisis, dan sikap sebagai seorang muslim yang baik
·
Kemampuan memhami Kitab Allah secara
sempurna, memuaskan akal, dan mampu menenangkan jiwanya.
·
Menambah wawasan ilmu pengetahuan
khususnya dalam study islam
BAB II
METODE DAN SUMBER
YANG MEMPELAJARI AJARAN ISLAM
YAITU AL-QUR’AN DAN
AL- HADITS
2.1 Sumber Ajaran Islam
Islam
dari Allah. Sumber ajarannya juga dari Allah. Maka sumber ajaran Islam adalah
wahyu dari Allah, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.1.1
Al-Qur’an
sebagai Sumber Agama
2.1.1.1
Pengertian Al-Qur’an
Para ahli Ushul, Fuqaha dan ahli bahasa memberikan pengertian
Al-Quranul Karim dengan “Kalam Mukjzat” yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw, yang tertulis dalam mushaf, dinukilkan dari nabi Muhammad secara mutawatir
dan membacanya beribadah.
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh
Subhi Saleh, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari
kata qara’a (fi’I madli) dengan arti ism al-maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya
dibaca.
Al-Qur’an bukan merupakan kitab agama saja, tetapi ia juga kitab
sastra yang luar biasa, juga sebagai kitab undang-undang yang mengatur hidup,
baik di bidang politik, kemasyarakatan, maupun ekonomi.Ia bertujuan menata
pemerintahan yang berlandaskan musyawarah, persamaan dan berketuhanan kepada
Tuhan yang maha esa.yang tidak ada serikat bagi-Nya. Inilah tauhid yang
dianjurkan Al-Qur’an, bukan tauhid mengesakan Tuhan saja, tetapi termasuk juga
tauhid mempersatukan umat islam.
Demikian fungsi Al-Qur’an yang diambil dari nama-namanya yang
difirmanan Allah dalam Al-Qur’an. Sedangkan fungsi Al-Qur’an dari pengalaman
dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas ketakwaan individu
yang bersangkutan. Karena bersifat personal, maka pengalaman tersebut hamper
dipastikan berbeda-beda, meskipun persamaan-persamaan pengalaman itu pun
sebagai media untuk menjaga diri. Dan karena itulah kita sering melihat “isim”
atau jimat yang diambil diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an.
2.1.1.2 Al-Qur’an Sebagai Firman Allah SWT
sebagai wahyu, Al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad
Saw. Perdebatan sekitar otentisitas Al-Qur’an sebagai firman Alah telah terjadi
ketika Al-Qur’an dturunkan. Oleh karena itu, Allah menantang kepada para para
penantang Al-Qulr’an untuk membuat satu surat yang semisal dengan Al-Qur’an.
Tampaknya mereka tidak mampu membuat Al-Qur’an tandingan walaupun
satu surah terpendek, yang terdiri dari tiga ayat. Andaikata mereka dapat
membuat barang tiga ayat, sungguh selesailah tantangan itu dan sirnalah kemukjizatan
Al-Qur’an. Namun lantaran mereka tidak sangup mendatangkan tandingannya, maka
dengan tegas dan meyakinkan Al-Qur’an menantang seluruh umat manusia sampai hari
kiamat.
Setelah perdebatan itu terjadi, terdapat pula orang yang meragukan
otentisitas Al-Qur’an karena dianggap telah diintervensi oleh manusia, terutama
umat islam generasi pertama yang kita kenal sebagai Sahabat Nabi Muhammad Saw.
Allah menjamin bahwa Al-Qur’an terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Al-Qur’anu Karim dipandang sebagai Kalam Illai yang utama dan
tertulis. Membacanya merupakan ibadah mendkatkan diri kepada Allah Swt. Ia
merupakan sumber segala kebijaksanaan, dan tonggak agama, serta ketentuan umum
syari’at.
2.1.1.2
‘Ulumul Qur’an dan Tafsir
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an tidak
diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu secara
periodic, sedikit demi sdikit dan ayat demi ayat. Hikmah pewahyuan secara ini
adalah utuk memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Qur’an tidak hampa social.
Pewahyuannya sangat tergantung pada lingkup dan prsoalan-persoalan
kemasyarakatan. Dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur’an merupakan jawaban
terhadap berbagai persoalan social yang melanda kehidupan manusia.
M.Quraish Shihab membagi proses pewahyuan melalui pendekatan isi
atau kandungan ayat. Ia selanjutnya membagi proses pewahyuan itu kepada tiga
periode. Pertama, periode ketika Nabi Muhammad Saw masih berstatus nabi, yaitu
dengan diterimya wahyu pertama, surah al-‘alaq 1-5. Status beliau lalu berubah
menjadi Rasul dengan tugas menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu setelah
beliau mendapat wahyu kedua. Ayat-ayat yang diturunkan pada fase ini tergolong
ayat-ayat makiyah yang mengandung tiga hal : pertama, masalah pendidikan
bagi Rasul dalam membentuk kepribasiannya; kedua, ajaran mengenai
pengetahuan-pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan Allah seperti yang
terlukis dalam surah al-‘ala dan surah al-ikhlas yang intinya memuat ajaran
tauhid dan penyucian diri; ketiga, ajaran tentang dasar-dasar akhlak islamiah
serta bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah. Periode ini berlangsung
antara empat sampai lima tahun.
Kedua, periode terjadinya pertarungan antara gerakan gerakan islam dan
kaum jahiliyah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun.
Ketiga, periode ketika umat islam dapat hidup bebas dalam menjalankan
ajaran-ajaran agama, yaitu saat Nabi Muhammad Saw berada di Madinah yang
berlangsung sekitar 10 tahun. Ayat-ayat periode ini disebut ayat madaniyah yang
umumnya menerangkan masalah kemasyarakatan.
Secara bahasa, tafsir berarti penjelasan dan keterangan. Secara
istilah,ilmu tafsir menurut Ibnu Hayan ialah ilmu yang membahas cara melafalkan
lafad-lafad Al-Qur’an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan
dilalah (petunjuk) yang zhahir sebatas kemampuan para mufasir.
Quraish Shihab membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama,
periode nabi, sahabat dan tabi’in sampai kira-kira tahun 150 H. kelompok tafsir
periode ini disebut tafsir bi al-ma’tsur. Corak tafsir ini bersumber pada
penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in.Dari masa
tabi’in beralih ke masa tabi’ tabi’in.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah beredar luas dan
berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan
banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, para mufasir mulai berijtihad. Periode kedua disebut oleh Departemen
Agama RI sebagai periode Muta’akhirin yang berlangsung antara abad ke-4 sampai abad
ke-12 Hijriyah.
Masih dalam periode kedua atau periode Mutaakhirin, lahir pula
tafsir dari kalangan Mu’tazilah dan syiah.
dilihat dari keterlibatan akal (ra’yu) dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, tafsir terbagi dua kelompok yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi
al-ra’yu.
2.1.2
Hadis
sebagai Sumber Agama Islam
2.1.2.1 Pengertian
Hadits
Yang dimaksud dengan hadis ialah ;
a.
Semua yang bersumber dari Rasulullah
saw, baik berupa perkataan, pebuatan, atau pengakuan beliau terhadap pekerjaan
atau perkataan orang lain.
b.
Semua yang bersumber dari sahabat yang
langsung menemani Rasul, melihat pekerjaan-pekerjaannya.
c.
Semua yang bersumber dari tabi’in yang
bergaul langsungdengan para sahabat dan mendengar sesuatu dari mereka.
Kata-kata sunnah, khabar, dan atsar sama dengan hadits. Al-khabar
secara bahasa berarti an-naba (berita); sedangkan al-atsar berarti pengaruh
atau sisa sesuatu (baqiyat al-sya’i). ari terminology al-khabar dan al-atsar,
menurut jumhur ulama memiliki arti yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw Sahabat dan tabi’in. sedangkan menurut ulama Khurasan,
al-atsar hanya untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan
al-khabar untuk yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi).
Oleh karena itu, baik
al-hadits, al-sunnah, al-khabar, maupun al-atsar dilihat dari aspek
penyandarannya ada yang rtian istilah marfu’, mauquf, dan maqthu’ (disandarkan
kepada tabi’in).
Terhadap keempat pengertian istilah diatas terutama aspek makna
terminologynya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang
membedakannya. Ulama yang membedakan arti keempat istilah tersebut mengatakan
bahwa al-hadits adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad saw;
sedangkan al-sunnah dalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad
saw, tetapi juga sahabat dan tabi’in.
Adanya perbedaan makna terminology keempat istilah diatas, menurut
fathurrahman tidaklah prinsipil. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Utang
Ranuwijaya dan Munzir Suparta yang mengatakan bahwa sebetulnya keempat istilah
tersebut mengakucu pada pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang
dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupum
taqrir.
Jadi, sunnah dan khabar menurut istilah ahli hadits merupakan
sinonim dari hadits. Mereka tidak keberatan menamakan hadits dengan khabar, dan
sebaliknya.
2.1.2.2
Posisi
dan Fungsi Hadis
Hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an. Hal
ini didasarkan pada nash, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Menurut T.M. Hasybi Al-Sieddiqy, fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
itu sebagai penjelas (al-bayan). Kemudian membagi al-bayan kepada beberapa
kategori sesuai kategorisasi yang diajukan oleh ulama Salaf.
Fathurrahman “tampaknya” menyimpulkan penjelasan serta kategori
al-bayan ke dalam tga hal : pertama, hadis berfungsi menetapkan dan
memperkuat hokum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Fungsi ini mengacu
pada bayan al-taqrir vers Imam Malik dan bayan al-ta’qid versi Ahmad bin
Hanbal.
Kedua,, hadis berfungsi
merinci dan menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang mujmal (global) serta
memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu,
ia berfungsi mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum
(‘am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafhsil versi imam Syafi’I dan imam Malik,
serta bayan al-takhsis versi imam Syafi’I dan imam Ahmad, juga bayan tafsir.
Ketiga, hadis berfungsi menetapkan aturan atau hokum yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi imam Malik,
imam Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
2.1.2.3
Sejarah
dan Kodifikasi Hadis
Usaha-usaha mengumpulkan hadis sebenarnya sudah ada pada masa
Sayidina Umar bin Khattab dan masa Umar Ibnu Abdul Aziz. Pada masa Al-Mansyur
menjadi khalifah, Imam Malik ibn Amr (178 H) mengumpulkan sejumlah hadis dalam
kitabnya yang diberi nama “Al-Muwatho”.
Pada abad ketiga hijriyah lahirlah sejumlah ahli hadis yang
kritis, mereka membuat pedoman yang teliti untuk untuk membedakan antara hadis
shahih dan hadis palsu. Kitab-kitab yang masyhur disusun pada masa ini ialah
Sahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan An-Nasa’I, Jami’at
Turmudzi, dan Sunan Ibnu Majah.
Hadis merupakan sumber kedua dalam syari’at islam sesudah
Al-Qur’an. Hadits merupakan pedoman umat islam dalam banyak hal, baik urusan
agama maupun urusan dunia.
2.2 Kesalahan Dalam Memahami Islam
Kesalahan
utama dalam upaya memahami Islam kadang terletak pada pijakannya. Mengambil
pijakan yang salah, maka hasilnya-pun bisa salah. Seandainya-pun betul, maka
hanya merupakan suatu kebetulan.
Diantara
kesalahan dalam mengambil sumber hujjah ini adalah:
2.2.1
Berhujjah dengan
hadits lemah dan palsu
Kesalahan yang sering terjadi dalam hal ini adalah
mengambil hujjah (dalil) dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Sebagian mungkin
berpendapat bahwa berhujjah dengan hadits lemah dan palsu dalam fadha`il al-a’mal
tidak mengapa selama tidak menyangkut masalah i’tikad, Namun masalah ini juga
bisa melahirkan kesalahan dalam beragama. Siapa yang dapat memutuskan bahwa ini
lebih afdhal dari yang lain?
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu anhu, bahwa Rasululah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa yang sengaja berbohong mengatas namakan diriku, maka
hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka"
Tentang faedah dan kaedah dari hadits ini, Imam
An-Nawawi menulis diantaranya:"Tidak ada bedanya antara upaya berdusta
dengan mengatas namakan Rasulullah dalam hal yang mengandung hukum atau dalam
hal yang tidak mengandung hokum. Misalnya dalam masalah targhiib (anjuran untuk
berbuat baik), tarhiib (ancaman dari berbuat kejelekan), mauizhah (nasehat)
atau yang lainnya. Semuanya sama-sama haram hukumnya dan termasuk dalam
katagori dosa besar"
2.2.2
Fanatisme,
sehingga mengedepankan perkataan tokoh mazhabnya
Fanatisme pada mazhab atau pada orang
tertentu juga berdampak dalam hal ini. Orang kadang lebih suka berhujjah dengan
apa kata gurunya, kiyainya, bahkan apa kata orang-orang dulu (nenek moyang).
Ketika fanatisme telah merasuk, maka
bagi mereka dalil bukan untuk menjadi sandaran kebenaran, namun jadi sandaran
pembenaran terhadap apa yang telah kadung diyakini sebelumnya. Logika
dibolak-balik agar apa yang telah kadung diyakini bisa menjadi benar.
2.3 Memahami Sumber Ajaran Islam
Sumber yang telah ada tidak bisa
difahami semaunya. Kadang ada yang menganggap bisa
memahami Al-Qur`an dan Sunnah semaunya. Dengan dalih “semua orang bisa memiliki
pendapat yang berbeda”. Bagi mereka semua bebas berpendapat.
Ada yang memahami Islam dengan logika Kristen atau agama lain, sehingga lahir fiqh lintas agama. Inilah yang kadang merusak Islam. Ada orang hindu yang memahami Islam dengan pemahaman hindunya, Kristen dengan pemahaman Kristennya, dst…
Ada yang memahami Islam dengan logika Kristen atau agama lain, sehingga lahir fiqh lintas agama. Inilah yang kadang merusak Islam. Ada orang hindu yang memahami Islam dengan pemahaman hindunya, Kristen dengan pemahaman Kristennya, dst…
Beragamnya cara memahami justru menjadikan Islam
terpecah belah, padahal Allah justru menyeru untuk bersatu padu: “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai,…” (Q.S. Ali-Imran:103)
Lalu bagaimanakah semestinya?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Telah berpecah belah Yahudi menjadi 71 golongan, dan telah berpecah
belah Nashrani menjasi 72 golongan, dan akan terpecah belah umatku menjadi 73
golongan, semuanya akan masuk Neraka kecuali satu”. Sahabat bertanya:’Siapakah
dia ya Rasulullah?’, sabdanya:”Barangsiapa yang menetapi apa yang aku dan
para sahabatku berada di atasnya” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibn
Majah). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Aku berwasiat kepada
kalian (untuk menetapi) sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka
(tabi’in), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’u tabi’in). Kemudian akan
tersebar kedustaan sehinga seseorang membuat persaksian sebelum dia diminta…”
(H.R. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah)
Pemahaman terhadap sumber Islam
(Al-Qur`an dan Sunnah) adalah dengan mengikuti pemahaman salaf ash-shalih yang
telah direkomendasikan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya.
2.3.1 Logika yang lurus
Para ulama telah menetapkan cara berfikir
yang lurus dalam memahami sumber ajaran Islam. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh
disaripatikan dari teks-teks Al-Qur`an dan hadits, diambil logika berfikirnya
agar tidak terjadi penyimpangan dan kerancuan dalam berfikir, sehingga
pemahaman juga bisa terpelihara tetap lurus.
Tidak jarang kekeliruan memahami Islam
karena logika berfikir yang terbalik, umpamanya orang yang menetapkan wajibnya
syahadat kembali bagi muslim keturunan, malah mereka yang menanyakan dalil yang
menyatakan tidak perlu syahadat lagi, padahal mereka telah tahu hokum asalnya
seorang anak yang baru lahir.
2.3.2 Pemahaman yang Integral
Islam harus dipelajari secara integral
sebagai suatu kesatuan, bukan secara parsial. Umpamanya orang yang hanya
melihat Islam dari sudut Bab Jihad, maka melihat seolah Islam itu keras dan
penuh peperangan. Orang yang melihat Islam semata dari sudut Akhlak (Bab Adab),
khususnya tentang zuhud semata dan mendalami itu saja akhirnya bisa menjadi
orang yang hidup dalam kependetaan, atau berpendapat seolah jalan zuhud ala
Sufi adalah jalan terbaik.
2.3.3 Menempatkan sesuatu pada tempatnya
Islam adalah satu kesatuan, tidak bisa
dipisah-pisahkan. Kesempurnaan Islam yang melingkupi berbagai aspek kehidupan
(syamil) tidak justru mendatangkan kebingungan. Ke-syamil-an Islam justru agar
kita bisa bersikap sesuai situasi dan kondisi yang melingkupi tanpa keluar dari
bingkai syari’at.
Bukan ayatnya yang salah. Kadang juga
bukan karena haditsnya yang lemah. Juga bukan pemahamannya yang keliru, namun
karena kita salah menempatkannya sehingga terjadi kesalahan itu (Tentang ini,
semoga suatu saat bisa saya tulis lebih detil dengan pembahasan “Fiqh Waqi’/
memahami realita”)
2.3.4 Tambahan
Beberapa kaidah lain dalam memehami Islam
agar selamat dalam pemahaman kita tentang Islam ini adalah:
- kesalahan
sebagian orang dalam memahami Islam kadang terjadi karena mempelajari
Islam dari kenyataan umat Islam. Sikap yang salah dari sebagian umat
Islam, keterbelakangan pendidikan, keawaman serta ketidak tahuan khususnya
dalam iptek, kadang membuat orang mengambil kesimpulan bahwa Islam itu
agama yang mengajarkan demikian. Ini terjadi karena upaya memahami Islam
dari kenyataan umatnya, bukan dari sumbernya sebagaimana disebutkan di
atas. Maka, hendaknya kita memahami Islam dari sumbernya. Kalaupun ingin
melihat pada realita, maka lihatlah pada realita ummat yang telah diakui oleh
Allah dan Rasul-Nya, yaitu generasi Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
- Mempelajari
Islam hendaklah dari kepustakaan yang ditulis para ulama Islam yang
mu’tabar, bukan malah melalui literature-literatur yang diterbitkan oleh
orientalis atau kaki tangan orientalis. Sungguh realita yang aneh, tidak
sedikit cendikiawan kita yang belajar Islam justru pada non-Islam, seperti
Leiden University, Leipzig University German, Arizona State University,
dan McGill University.
2.4 Metode Ajaran Islam
Dirasah Islamiyah atau Studi Keislaman
(Islamic Studies), secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan perkataan lain
usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara
mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubngan dengan agama Islam,baik
ajaran-ajaran sejarahnya maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Usaha mempelajari agama Islam tersebut
kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan
juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi
ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya mempunyai tujuan yang
berbeda-beda dengan tujuan studi Keislaman yang dilakukan oleh orang-orang di
luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan
untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka
dapat melaksanakan dan mengamalkannya secara benar, serta menjadikannya sebagai
pegangan dan pedoman hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat
Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan
praktek-praktek keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata
sebagai ilmu pengetahuan. Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan
pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan
praktek-praktek keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat
negatif. Para ahli studi ke-Islaman di luar kalangan umat Islam tersebut
dikenal sebagai kaum orientalis, yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi
tentang dunia Timur, termasuk di dalamnya dunia Islam.
Dalam prakteknya studi ke-Islaman yang
dilakukan oleh mereka, terutama masa awal-awal mereka mengadakan studi tentang
Islam, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktek-praktek
pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan-sehari-hari umat Islam.
Namun
demikian, banyak juga di antara para orientalis yang memberikan
pandangan-pandangan yang obyektif dan bersifat ilmiah terhadap agama Islam dan
umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu akan bisa bermanfaat
bagi pengembangan studi ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri. Kenyataan
sejarah menunjukkan (terutama setelah “masa keemasan Islam” dan umat Islam
sudah memasuki “masa kemunduruannya”) bahwa pendekatan studi ke-Islaman yang
mendominasi kalangan ulama Islam lebih cenderung bersifat subyektif, apologis
dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan oleh
kalangan luar Islam yang bersifat obyektif dan rasional. Dengan pendekatan subyektif
apologis dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang sumber dasarnya adalah
al-Qur’an dan al-Sunnah yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif
terhadap tuntutan perubahan dan perkembangan zaman – telah berkembang menjadi
ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sentuhan
akal/rasional dan tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan
keagamaan serta sosial budaya umat Islam terkesan mandeg, membeku dan
ketinggalan zaman. Dan celakanya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi
sasaran atau obyek studi dari kaum orientalis dalam studi keIslamannya. Dengan
pendekatan yang bersifat obyektif rasional atau pendekatan ilmiah, mereka
mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ajaran agama Islam sebagaimana yang nampak
dalam fenomena dan praktek umatnya ternyata tidak rasional dan tidak mampu
menjawab tantangan zaman.
Dengan adanya kontak budaya modern
dengan budaya Islam, mendorong para ulama tersebut untuk bersikap obyektif dan
terbuka terhadap pandangan dari luar, yang pada gilirannya pendekatan ilmiah
yang bersifat rasional dan obyektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula
dalam studi keIslaman di kalangan umat Islam sendiri. Dengan masuknya
pendekatan tersebut, maka studi keIslaman semakin berkembang dan menjadi sangat
relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam, terutama dalam menghadapi tantangan
dunia modern yang semakin canggih dan era globalisasi saat ini. Berbagai
pendekatan tentang studi Islam, akan dibahas dalam tulisan berikutnya.
BAB III
PENUTUP
1.1
Simpulan
Dari uraian
diatas dapat ditarik simpulan bahwa :
1. sumber
ajaran Islam adalah wahyu dari Allah, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.
Para ahli Ushul, Fuqaha dan ahli bahasa
memberikan pengertian Al-Quranul Karim dengan “Kalam Mukjzat” yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf, dinukilkan dari nabi
Muhammad secara mutawatir dan membacanya beribadah.
3. fungsi Al-Qur’an
dari pengalaman dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas
ketakwaan individu yang bersangkutan. Karena bersifat personal, maka pengalaman
tersebut hamper dipastikan berbeda-beda, meskipun persamaan-persamaan
pengalaman itu pun sebagai media untuk menjaga diri.
4. hadis ialah ;Semua yang bersumber dari
Rasulullah saw, baik berupa perkataan, pebuatan, atau pengakuan beliau terhadap
pekerjaan atau perkataan orang lain.
5. Kata-kata sunnah, khabar, dan atsar sama
dengan hadits. Al-khabar secara bahasa berarti an-naba (berita); sedangkan
al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-sya’i). ari terminology
al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama memiliki arti yang sama, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw Sahabat dan tabi’in
6. Kesalahan dalam
memahami islam diantaranya : berhujjah dengan hadits lemah dan palsu dan
Fanatisme, sehingga mengedepankan perkataan tokoh mazhabnya
7. Memahami sumber
ajaran islam diantaranya dengan Logika yang lurus,
pemahaman yang integral, menempatkan sesuatu pada tempatnya, dll.
1.2
Saran
Setelah melakukan
penyusunan makalah yang bertema “Kewarganegaraan”, maka kami mencoba
mengemukakan beberapa saran, yaitu :
· Semoga
pembaca dapat mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang
lingkupnya sehingga dapat mengambil pelajaran
·
Mampu memahami Kitab Allah secara
sempurna, memuaskan akal, dan mampu menenangkan jiwanya.
·
dapat
menerapkan metode ini dalam kehidupan nyata
·
dapat
mengkaji dengan baik dan dapat melengkapi kekurangan makalah yang kami susun
DAFTAR PUSTAKA
· Ahmad, Muhammad Qadir, Dr.
“Metodologi Pengajaran Agama Islam”. 2008. Jakarta: PT Rineka Cipta
· Abdul Hakim, Atang, Drs. Dan Mubarok, Jaih, Dr. “Metodologi Studi
Islam”. 2000. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
· Jamil, Fathurrahman, Drs. “Tafsir-Ilmu Tafsir”. 1986. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
· WWW.GOOGLE.com